Selasa, 20 Maret 2012

Selamat Ulang Tahun


Sudah pukul enam sore, aku masih duduk terdiam sambil memandangi coklat panas di cangkir mungilku. Di luar hujan, cukup deras. Kuputuskan untuk mematikan pendingin ruangan, udara sudah cukup dingin untuk menusuk tulang-tulangku. Pikiranku masih melayang ke masa-masa dulu, saat semua masih berjalan normal. Aku bukannya marah pada apa yang sudah aku pilih, pencapaian ini adalah keinginanku sejak dulu. Namun, aku hanya menyesali mengapa untuk berada pada titik ini banyak hal yang harus aku korbankan, termasuk meninggalkanmu sendiri.

Aku tahu, tingkat ambisius dalam diriku sudah kelewat batas. Aku egois. Sama sekali aku tak mendengarkanmu. Aku bahkan tak memberimu kesempatan untuk bicara. Aku tahu, kau terluka karena sikapku ini tapi kau tersenyum dan mendukungku dengan tulus.
“Berangkatlah, itu sudah jadi maumu” itu yang kau katakan dulu padaku saat aku memaksakan ego ku.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Satu pesan baru muncul. Dilayar tertulis Prisca, dia sahabatku. Ku buka dan ku baca isi pesan darinya. Apa kamu sudah menghubunginya? Kamu nggak lupakan sekarang ulang tahunnya?. Aku tahu siapa yang dimaksud Prisca, ku lihat kalender di seberang ruangan. 25 Maret. Hari ini kau berulang tahun aku tidak lupa,sungguh.  Lalu aku membalas sms Prisca dengan singkat. Belum.

Dua menit kemudian ada balasan pesan darinya. Dea, kamu mau sampai kapan seperti ini terus? Dia pasti berharap kamu menghubunginya. Ku mohon,hubungi dia. Lihat, sahabatku sendiri sampai memohon agar aku menghubungimu. Aku belum berubah, aku masih egois. Bahkan lebih egois. Ku letakkan ponselku di meja, dan aku kembali duduk, diam dan termenung. Secangkir coklat ini sudah dingin, aku terlalu lama membiarkannya. Aku bersandar, memejamkan mata.

Bayanganmu terlintas dalam benakku, kau tersenyum. Sejujurnya, aku merindukanmu. Apakah kau merindukanku? Apakah kau mengkhawatirkanku? Aku ingat tiga hari yang lalu kau menghubungiku menanyakan kabarku, aku bahkan menjawab dengan dingin. Kau berpikir bahwa kau telah menggangguku, padahal aku senang saat itu, hanya keegoisanku lah aku bersikap seperti itu. Maafkan aku.

Aku lelah, aku ingin berdamai denganmu. Aku tahu kau tak memusuhiku, kau tak pernah berubah. Kau masih sama dan selalu sama. Rasa cintamu, rasa pedulimu tak terbatas dan tak berkurang sedikitpun.

Ini jalanku, aku sudah memilihnya. Menjadi seorang jurnalis adalah mimpiku, kau tahu itu. Dan sekarang aku berada di puncak karir ku, kau tahu tadi siang aku di promosikan menjadi redaktur pelaksana. Pencapaian yang bagus kan? Kau sudah seharusnya bangga. Tapi kau membenci pekerjaan itu, hanya karena masa lalumu. Aku marah padamu, mengapa kau tak bisa hidup tanpa bayang-bayang masa lalumu? Orang yang kau cintai mati saat bertugas meliput konflik, itu yang membuatmu benci pada pekerjaanku saat ini kan? Mati. Itu jalan Tuhan, kau tak bisa mengingkarinya.

Udara semakin dingin, ku bergegas ke dalam kamar membuka lemari mencari jaket untuk menghangatkan badanku. Jaket yang tebal berwarna biru, ini kan milikmu? Aku ingat kau selalu khawatir jika asma ku kambuh, jaket ini selalu menghangatkanku.

Sudah pukul sembilan malam, apakah kau sudah tidur? Ku pandangi fotomu di dompetku. Senyummu membuatku semakin merindukanmu. Maafkan aku. Sejak aku pergi, jarang aku menghubungimu. Pulang juga tak pernah. Sudah tiga malam Natal kau rayakan tanpaku. Aku egois. Air mata menetes perlahan, aku menangis.

Aku ingin memperbaiki semuanya, teringat pesan dari Prisca. Apakah aku harus menghubungimu? Aku merindukanmu. Kembali aku memandangi fotomu, sekarang hujan apa disana juga hujan? Apa kau juga kedinginan sama sepertiku? Apa kau merindukanku juga? Aku menangis. Ku cari ponselku, Ya, aku akan menghubungimu malam ini. Aku sudah tidak tahan, aku kosong tanpamu.

Ku cari nomormu dan aku tekan tombol berwarna hijau diponselku. Kudengar nada sambung, semoga kau belum tidur. Jantungku berdegup kencang.
“Halo” suaramu yang hangat terdengar dari seberang sana
“Halo, ini Dea” jawabku
Kau terdiam
“Selamat ulang tahun, Bu” kataku kemudian, aku menangis dan aku biarkan ibu mendengarkanku menangis, selama ini aku tak pernah menunjukkan saat terburukku padanya.
“Nak, kamu sudah makan? Asmamu ndak kambuh to?cuacanya ndak tentu nduk sekarang, jaga kesehatan ya”
“Maafin Dea, kalau Dea sudah egois. Dea cuma pengen seperti Ayah,bu. Itu aja”
“Iya, ibu tahu. Ayahmu pasti bangga di surga. Ibu juga bangga. Sudah jangan nangis lagi ya”
“Dea kangen ibu, minggu depan Dea pulang”




*tulisan ini aku dedikasikan untuk Mama ku tercinta*


4 komentar:

Terima kasih sudah membaca dan sertakan komentarmu disini Dear. :)