Sudah pukul enam sore, aku masih
duduk terdiam sambil memandangi coklat panas di cangkir mungilku. Di luar
hujan, cukup deras. Kuputuskan untuk mematikan pendingin ruangan, udara sudah
cukup dingin untuk menusuk tulang-tulangku. Pikiranku masih melayang ke
masa-masa dulu, saat semua masih berjalan normal. Aku bukannya marah pada apa
yang sudah aku pilih, pencapaian ini adalah keinginanku sejak dulu. Namun, aku
hanya menyesali mengapa untuk berada pada titik ini banyak hal yang harus aku
korbankan, termasuk meninggalkanmu sendiri.
Aku tahu, tingkat ambisius dalam
diriku sudah kelewat batas. Aku egois. Sama sekali aku tak mendengarkanmu. Aku bahkan
tak memberimu kesempatan untuk bicara. Aku tahu, kau terluka karena sikapku ini
tapi kau tersenyum dan mendukungku dengan tulus.
“Berangkatlah, itu sudah jadi
maumu” itu yang kau katakan dulu padaku saat aku memaksakan ego ku.
Tiba-tiba ponselku bergetar. Satu
pesan baru muncul. Dilayar tertulis Prisca, dia sahabatku. Ku buka dan ku baca
isi pesan darinya. Apa kamu sudah
menghubunginya? Kamu nggak lupakan sekarang ulang tahunnya?. Aku tahu siapa
yang dimaksud Prisca, ku lihat kalender di seberang ruangan. 25 Maret. Hari ini
kau berulang tahun aku tidak lupa,sungguh. Lalu aku membalas sms Prisca dengan singkat. Belum.
Dua menit kemudian ada balasan
pesan darinya. Dea, kamu mau sampai kapan
seperti ini terus? Dia pasti berharap kamu menghubunginya. Ku mohon,hubungi
dia. Lihat, sahabatku sendiri sampai memohon agar aku menghubungimu. Aku belum
berubah, aku masih egois. Bahkan lebih egois. Ku letakkan ponselku di meja, dan
aku kembali duduk, diam dan termenung. Secangkir coklat ini sudah dingin, aku
terlalu lama membiarkannya. Aku bersandar, memejamkan mata.
Bayanganmu terlintas dalam
benakku, kau tersenyum. Sejujurnya, aku merindukanmu. Apakah kau merindukanku? Apakah
kau mengkhawatirkanku? Aku ingat tiga hari yang lalu kau menghubungiku
menanyakan kabarku, aku bahkan menjawab dengan dingin. Kau berpikir bahwa kau
telah menggangguku, padahal aku senang saat itu, hanya keegoisanku lah aku
bersikap seperti itu. Maafkan aku.
Aku lelah, aku ingin berdamai
denganmu. Aku tahu kau tak memusuhiku, kau tak pernah berubah. Kau masih sama
dan selalu sama. Rasa cintamu, rasa pedulimu tak terbatas dan tak berkurang
sedikitpun.
Ini jalanku, aku sudah
memilihnya. Menjadi seorang jurnalis adalah mimpiku, kau tahu itu. Dan sekarang
aku berada di puncak karir ku, kau tahu tadi siang aku di promosikan menjadi
redaktur pelaksana. Pencapaian yang bagus kan? Kau sudah seharusnya bangga. Tapi
kau membenci pekerjaan itu, hanya karena masa lalumu. Aku marah padamu, mengapa
kau tak bisa hidup tanpa bayang-bayang masa lalumu? Orang yang kau cintai mati
saat bertugas meliput konflik, itu yang membuatmu benci pada pekerjaanku saat
ini kan? Mati. Itu jalan Tuhan, kau tak bisa mengingkarinya.
Udara semakin dingin, ku bergegas
ke dalam kamar membuka lemari mencari jaket untuk menghangatkan badanku. Jaket
yang tebal berwarna biru, ini kan milikmu? Aku ingat kau selalu khawatir jika
asma ku kambuh, jaket ini selalu menghangatkanku.
Sudah pukul sembilan malam,
apakah kau sudah tidur? Ku pandangi fotomu di dompetku. Senyummu membuatku
semakin merindukanmu. Maafkan aku. Sejak aku pergi, jarang aku menghubungimu. Pulang
juga tak pernah. Sudah tiga malam Natal kau rayakan tanpaku. Aku egois. Air mata
menetes perlahan, aku menangis.
Aku ingin memperbaiki semuanya,
teringat pesan dari Prisca. Apakah aku harus menghubungimu? Aku merindukanmu. Kembali
aku memandangi fotomu, sekarang hujan apa disana juga hujan? Apa kau juga
kedinginan sama sepertiku? Apa kau merindukanku juga? Aku menangis. Ku cari
ponselku, Ya, aku akan menghubungimu malam ini. Aku sudah tidak tahan, aku
kosong tanpamu.
Ku cari nomormu dan aku tekan
tombol berwarna hijau diponselku. Kudengar nada sambung, semoga kau belum
tidur. Jantungku berdegup kencang.
“Halo” suaramu yang hangat
terdengar dari seberang sana
“Halo, ini Dea” jawabku
Kau terdiam
“Selamat ulang tahun, Bu” kataku
kemudian, aku menangis dan aku biarkan ibu mendengarkanku menangis, selama ini
aku tak pernah menunjukkan saat terburukku padanya.
“Nak, kamu sudah makan? Asmamu ndak kambuh to?cuacanya ndak tentu nduk sekarang, jaga kesehatan
ya”
“Maafin Dea, kalau Dea sudah
egois. Dea cuma pengen seperti Ayah,bu. Itu aja”
“Iya, ibu tahu. Ayahmu pasti
bangga di surga. Ibu juga bangga. Sudah jangan nangis lagi ya”
“Dea kangen ibu, minggu depan Dea
pulang”
*tulisan ini aku dedikasikan
untuk Mama ku tercinta*
gw ngerasa tersentil baca ini -__-
BalasHapushahahaha..tersentil ya..skrg lari ke mama dan peluk dgn penuh rasa sayang..
HapusWah :')
BalasHapuswah :') kenapa???
Hapus